I am freelance intelligence. Currently trying to understand capitalism.

Sunday, 8 September 2013

Zyxomma obtusum

Image
Capung Putih oleh Komunitas Indonesia Dragonfly Society (IDS) ini memenangkan kompetisi foto dalam Kongres capung sedunia (International Congres of Odontology) 2012 di Jepang.


I
Hari ini jutaan orang berduka. Pesawat AA penerbangan 261 yang membawa 160 penumpang jatuh di Samudera Pasifik di dekat Kepulauan Anacapa setelah gagal mendarat di Los Angeles. Dugaan sementara kecelakaan ini disebabkan oleh kegagalan sistem trim horizontal. Akibat kelalaian perawatan (kelalaian pelumasan), mekanisme baut penggerak trim horizontal menjadi macet dan ketika coba dibebaskan, mekanisme trim tersebut menjadi aus dan patah, membuat trim horizontal terlepas dari penggerak dan berada di posisi naik dan pesawat menukik tajam jatuh ke laut.
Hingga kini pencarian masih terus dilakukan. Keluarga para penumpang dari berbagai negara berdatangan mencari jenazah anggota keluarga mereka untuk dibawa pulang.
Kotak hitam yang memuat percakapan pilot dan ko-pilot telah ditemukan dengan bantuan Tentakel-G.1, robot gurita yang didesain dengan sensor khusus untuk menemukan black-box di kedalaman laut, namun sepanjang pencarian belum ada satu korban pun dapat ditemukan. Carl, seorang pakar penerbangan dan pilot senior AA Airlines mengatakan bahwa kemungkinan korban selamat sangat sedikit, mengingat pesawat yang meluncur dengan kecepatan super cepat menabrak permukaan laut hingga menimbulkan ledakan hebat dan membuat pesawat hancur berkeping-keping. Jika sampai dua minggu ke depan belum juga ditemukan korban, pencarian akan dihentikan.
II
Gadis itu duduk termangu pada sebuah kursi kayu di ruang tunggu Bandara S. Matanya menyorot kekosongan. Sepi. Pedih yang teramat dalam. Bibirnya pucat mengering. Dipandanginya pesawat-pesawat membaris di hangar. Sesekali ia tersenyum kecil. Pada sudut bibirnya menyirat sebuah kerinduan yang berusaha disembunyikannya. Kerinduan yang membuat matanya menyerupa cermin.
Awan bergerak memecah langit yang gelap. Memendarkan cahaya bulan yang semakin menerang. Hembus angin semakin kencang menerbangkan kertas-kertas kotor dari tempat sampah yang tak terawat atau helaian tisu kotor sisa orang-orang yang mungkin juga pernah menangis di sini. Sepanjang lorong yang menderet kursi-kursi kayu panjang, keheningan menyapa gadis itu dengan cara yang tak biasa. Mulai disusuri ingatannya yang masih dengan jelas menyimpan banyak peristiwa, tentang ia dan lelaki itu.
Gadis itu terduduk. Mengambil sesuatu dari dalam ransel birunya. Sebuah benda persegi panjang berwarna putih. Kanvas. Dipeluknya kanvas itu begitu erat, seakan tak ingin ia akan melepasnya kemudian. Perlahan tetes demi tetes air biru meluncur pada kedua lekukan di pipi manisnya. Bahunya mulai bergetar seakan tak kuasa menahan sakit sebuah kerinduan. Kehilangan.
^^^
Kita berdua seperti dua ekor capung jarum, kak. Nakal, seenaknya hinggap di mana pun mereka mau; di rambut putih kakek-kakek, di atas buah semangka, di pucuk pagar rumah pak RT, atau di dahi orang-orang yang sedang bertafakur di sungai membersihkan sisa kerja tubuhnya. Ukuran tubuh yang kecil mungil membuat mereka sulit sekali ditangkap walaupun terbangnya lebih lamban dibanding spesies capung lainnya. Lucu sekali. Semuanya kita lakukan berdasar azas kesenangan. Kepadaku kak, kau selalu bilang bahwa kata ayahmu selagi kita masih kecil, selagi hati kita belum terlampau kotor, ikuti saja apa keinginan hati ini.
Ya, itu dulu. Dulu sekali ketika kakak dan aku masih selalu membawa bekal ke sekolah, ketika aku masih sering menangis karena dijahili anak-anak nakal di kelas lalu kakak mengajakku ke sawah, menghiburku dengan tingkah-tingkah aneh yang memaksaku untuk tertawa. Dengan tubuhmu yang pendek, gendut, dan pipimu menggembung seperti semangka membuatmu terlihat seperti boneka beruang. Mencubit pipimu sekeras mungkin menjadi kegemaranku untuk melampiaskan emosi. Ah kakak itu lucu.
Di sawah itu kak biasanya kita bermain dengan capung-capung. Ada capung berwarna merah, oranye dengan ekor belirik hitam, hijau, dan banyak lagi. Lalu kita berlomba menarik hati capung. Masih ingatkah kau kak? Kita menempelkan daun-daun di atas rambut, menyelipkan dahan-dahan di sela daun telinga dan kita duduk bersebelahan, berdiam diri di tengah capung-capung yang sedang sibuk beterbangan. Siapa yang dihinggapi capung duluan, dia lah pemenangnya. Ah, aku pun heran, dulu tak pernah kita merasa malu dilihat para petani dan wajah kita nampak tak karuan. Sungguh, aku rindu keindahan masa kecil itu, kak.
Hari-hari berganti, kita mulai beranjak dewasa, kita sudah bukan anak SD lagi, kita anak SMP. Kutemukan hal baru dalam dirimu. Kau mulai gemar melukis, padahal dulu tidak pernah kau melukis, kerjamu hanya bermain dan bermain saja sepulang sekolah.
Semakin banyak hal baru kita pelajari, menghabiskan waktu untuk kita bermain bersama seperti sebelumnya. Sepulang sekolah ada ekstra kulikuler, di akhir pekan ada kegiatan organisasi, bimbingan belajar, atau kegiatan-kegiatan sekolah lainnya. Namun, itu tak menjadi masalah toh kita masih sekolah di SMP yang sama. Kita selalu berangkat sekolah bersama walaupun kadang pulangnya tidak. Yah walaupun aku harus bersabar untuk duduk termenung di teras rumahmu karena menunggumu bersiap-siap. Namun aku senang-senang saja, karena mamamu yang ramah dan cantik itu selalu menemaniku. Kita membicarakan banyak hal, entah mengapa aku merasa nyaman, seperti berbicara dengan ibuku sendiri.
Kakak masih sering mengajakku ke sawah, namun aku tak bisa. Begitu pun sebaliknya. Sering pula aku mengajakmu kak dan kau pun tak bisa. Namun, walau tak sesering dulu yang hampir setiap hari kau datang ke rumah lalu mengajakku berlarian di sawah, berkejaran dengan capung-capung elok yang mewarnai petak-petak sawah, masih memilikimu pun sudah cukup membuatku bahagia. Kehadiran sosokmu begitu berarti bagiku kak. Kau selalu bersedia mengorbankan waktu belajarmu untuk menemuiku ketika aku sangat membutuhkanmu, ketika aku sedang kesulitan menghadapi masalah-masalahku, ketika aku membutuhkan seseorang untuk menemaniku menangis.
Ah, itu juga dulu. Walaupun tidak dulu sekali. Kini kita sudah dewasa. Sudah SMA. Eh, maaf. Aku saja yang SMA, kau sudah lulus seharusnya kak. Kau mengambil program akselerasi di sekolahmu. Ya, ketika SMA, kita tidak satu sekolah lagi. Bukan hanya itu, kita juga sudah tidak bisa berangkat sekolah bersama. Bahkan, kita hampir tak pernah bisa sewaktu-waktu bertemu. Ya, kak, aku sekarang jadi anak asrama. Sekolahku mewajibkan semua siswanya untuk tinggal di asrama. Tidak diijinkan untuk pulang ke rumah selain pada waktu libur akhir semester atau hari raya Idul Fitri. Jangankan main di sawah denganmu seperti dulu, bertemu dengan orangtuaku pun menjadi sesuatu yang teramat langka dan istimewa.      
Aku masih ingat, ketika itu sekolah tidak sedang libur. Tiba-tiba kau datang ke asramaku. Sedikit kaget, namun kucoba untuk terlihat biasa. Ya, semenjak dewasa ini, lebih sering aku merasa malu kalau terlihat ada yang kurang dari diriku dihadapanmu kak, tak seperti dulu. Entah dari mana datangnya rasa malu itu aku pun tak tahu. Kuminta ijin pada bu satpam untuk keluar sebentar denganmu, kubilang kau adalah kakakku.
“Tak jauh dari sini, ada sawah loh kak”
Lalu kau begitu antusias menyuruhku mengajakmu ke sana.
Menghampar luas sawah yang dihuni kawanan padi yang mulai menguning, membuat siluet indah di antara ujung pandang sawah dan langit dalam pancaran oranye matahari yang sudah nampak begitu ingin menyinari bagian bumi lainnya. Namun, aku seperti merasakan ada sesuatu yang kurang pada sawah ini.
            Sejenak kita saling tanya tentang kabar, lalu kau mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselmu. Itu sebuah kanvas. Indah sekali lukisanmu itu kak. Tapi itu apa? Masak ada capung warnanya putih. Ketika itu aku baru tahu kalau kakak masih selalu pergi ke sawah, namun lebih sore dari biasanya. Ah, kau begitu melankolis kak, melepas rindu padaku dengan melukis capung di sawah.
“Dek, capung putih itu unik sekali. Dia selalu terbang dan tak pernah hinggap. Ya, begitulah seharusnya hidup. Harus selalu berjalan, tak ada guna berdiam diri, semuanya pasti berubah, itu pasti. Tak perlu kita mempermasalahkannya, cukup mengambil pelajaran darinya agar kita menjadi lebih kuat.” Aku rindu dengan nasihat seperti itu kak. Sudah begitu lama aku tak mendengarnya.
“Oh iya dek, kau mungkin belum pernah menemuinya karena dia hanya terbang diwaktu matahari mulai akan menanggalkan sinarnya. Apalagi, sepertinya di sini air sungai, parit, sudah banyak tercemar air sabun. Kau tahu kan, nimfa capung tak dapat menetas di air tercemar. Jadi jika di suatu daerah tak ada capung, kita bisa tahu bahwa air di daerah itu sudah tercemar.”
“Ah kakak lebih banyak tahu sekarang.”
“Yah, hampir setiap minggu kakak mengamati capung dek, sesekali juga untuk melukis mereka, haha”
“Andai aku juga bisa setiap hari melukis capung di sawah seperti kakak”
“Haha, kau tak banyak berubah dek” Kurasakan tatapan itu masih sehangat dahulu.
“Kakak suka sekali dengan capung ini dek, capung putih. Cantik, seperti dirimu.”
            Seketika kurasakan ada yang berubah pada tatapan itu kak. Tatapan sebelum kakak berucap;
“Aku sekalian pamit dek”
“Pamit?? Kakak akan ke mana?”
^^^
III
Gadis itu mulai beranjak dari tempatnya duduk. Dipandanginya bulan sabit yang memendarkan cahaya kerinduan. Perlahan air matanya meleleh bersama sesungging senyum di bibirnya yang masih pucat. Dalam hati ia berkata;
“Kak, satu tahun yang lalu aku datang ke sini dengan beribu duka dan kesangsian. Cepat sekali kau meninggalkanku. Menutup lembaran kisah yang begitu berarti. Darimu, aku menemukan sosok yang penuh kesabaran dan kesetiaan. Aku akan selalu menyimpannya, kak. Namun, kuyakin, Tuhan telah memberikan yang terbaik untukmu, juga untukku.”
Ia menoleh ke belakang. Mengambil ranselnya yang tergeletak pada bangku kayu ruang tunggu bandara S, lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Wajahnya basah. Sebasah hatinya yang dipenuhi kerinduan.
“Begitulah seharusnya hidup. Harus selalu berjalan, tak ada guna berdiam diri, semuanya pasti berubah, itu pasti. Tak perlu kita mempermasalahkannya, cukup mengambil pelajaran darinya agar kita menjadi lebih kuat”

0 comments:

Post a Comment