I am freelance intelligence. Currently trying to understand capitalism.

Wednesday, 23 October 2013

Tentang Lelaki yang Menunggu Hujan

1
             Hujan turun semakin deras. Membasahi jalanan yang mulai menggelap. Sunyi. Sepi. Dingin. Di sepanjang jalan tempat lelaki itu berdiri, masih nampak tenda-tenda sederhana mengepulkan uap kopi. Di dalamnya sebuah lampu memendarkan cahaya oranye. Menerangi dan memberi sedikit hawa panas pada pisang goreng dingin yang belum tersentuh tangan pembeli. Sepertinya di sana hangat.
Ah sudahlah. Ia tak akan dapat rasakan kehangatan itu.
Ia hanya seorang lelaki berambut hitam gondrong dan pakaian lusuh penuh debu yang berdiri menggigil di emper sebuah toko berpintu harmonika. Kedua tangannya dilipat. Menyembunyikan jari-jarinya pada ketiak yang menghangatkan. Satu kehangatan yang dapat ia nikmati. Sendirian.
Semua orang mencarinya. Ya. Walau tak satu pun dari mereka tahu seperti apa sosok yang sebenarnya mereka cari. Karena hanya Tuhan, aku, dan orang-orang berjubah putih itu yang mungkin tahu.
            Orang-orang berjubah putih yang kini tak dapat lagi merasakan segarnya udara. Ia, lelaki itu. Sudah mulai nampak kerutan-kerutan pada kulitnya yang gelap.
            Kau tahu, dulu ia adalah seorang penjual rokok di persimpangan gang yang mengarang cerita. Namun itu dulu. Sebelum segerombolan orang berjubah putih datang dan membawanya ke suatu tempat. Tempat yang dijejali tarian angin lembah ketika bulan menerawangkan wajah Rama dan Shinta yang saling memandang. Tempat yang belum pernah ia tahu keberadaanya.
            Di sana ia tak sendiri. Banyak pula orang-orang yang duduk bersila dengan wajah menunduk dan tangan diikat di balik perut.
            Itulah kali pertama ia datang ke tempat itu.

2
            Hujan turun semakin deras. Membasahi jalanan yang mulai menggelap. Yang nampak dalam pandanganku hanyalah pendar lampu-lampu kendaraan yang sedang mengantri untuk naik. Kupandangi lekat-lekat seorang kurir yang diutus oleh Tuan Snouck Van Jugend untuk mengantarkanku pada seorang lelaki yang tidur dalam sebuah jeruji besi di Hindia karena mengarang cerita. Ya, aku akan menghamba padanya.
            Inilah kali pertama aku mendengar ayam jantan yang berkokok merdu dikala fajar menyingsing dan embun membasahi rerumputan.
            Cukup! Sudah hampir dua malam kurir itu mengajakku berjalan merasakan panas sengatan matahari dan dingin belaian gerimis. Tak kunjung sampai aku pada tujuan yang dimaksudkan tuan Jugend.
            Seseorang berseragam coklat membukakan pintu setelah tiga kali si kurir mengucap salam dalam bahasa Indonesia berlogat Belanda. Aku dibawanya masuk.
            Sempat kulihat orang-orang dengan badan penuh debu dan pakaian tak lagi utuh berjajar rapi di samping gundukan tanah. Sebagian menenteng cangkul. Sebagiannya lagi menggenggam linggis. Dan setelah itu; gelap. Tak dapat kulihat apa pun. Sepertinya aku dimasukkan dalam sebuah ruangan isolasi yang tak punya ventilasi udara pun sedikit.

3
            Hujan turun semakin deras. Sederas cucuran keringat lelaki itu. Lengah sedikit saja, cambuk akan menanggalkan garis merah pada punggungnya yang telanjang. Rutinitas barunya kini setelah sarapan pagi berteman kokok ayam jantan adalah mencangkul. Membuat lubang menuju ke desa-desa yang ingin dijadikan lahan ekonomi orang-orang berjubah putih itu. Ya memang, sepengamatanku segala yang dilakukan orang di tempat ini hanya untuk kepentingan orang-orang berjubah putih itu. Heran, pun belum tahu aku seberapa sakti mereka walaupun kami datang dari tempat yang sama.
            Walaupun aku tak diantarkan pada lelaki itu, setidaknya sekarang aku telah keluar dari ruang isolasi pengap itu. Dipaksa aku melayani orang-orang berseragam coklat itu mengarang cerita tentang peristiwa-peristiwa di tempat ini. Ya, kusebut itu mengarang karena tak sama dengan faktanya. Dasar orang-orang itu. Seharusnya mereka belajar dulu pada lelaki itu perihal karang-mengarang, ia jagonya. Bahkan tuan Jugend yang seorang akademisi senior pun dibuatnya terkesima hingga mengirimkanku pada lelaki itu.
Aku, juga lelaki itu saksikan langsung bagaimana orang-orang berjubah putih itu terbahak-bahak setelah melemparkan sebutir kecil bijih besi hitam, lalu jemarinya bergerak menekan tombol merah pada sebuah benda persegi dalam genggamannya dan rumah-rumah itu terbakar.
             Kebakaran yang biasanya akan dihentikan oleh hujan. Begitulah cara mereka menguasai tanah ini. Tanah orang-orang Hindia. Tanah orang-orang yang tak pernah berjubah.
Lelaki itu, ia genggam erat sebuah pisau mungil dibalik tangannya. Ia menyelusup di ruang tempat benda itu disimpan dikala orang-orang berseragam coklat itu terlelap. Ia congkel kotak tempat orang-orang berjubah putih itu menyimpan butir bijih besi dan benda persegi bertombol merah itu.
Aw, timbul suara berisik ketika kotak itu terbuka. Orang berseragam coklat itu menggerakkan tangannya ke atas, lalu turun mengusap mulutnya yang basah, dan, ia terlelap lagi. Fiuh. Lelaki itu, ia berhasil. Ia bawa benda itu dan lari entah ke mana. Tak dibawa sertanya diriku. Dibiarkannya aku tetap di sini, di tempat yang sungguh menyedihkan.
              Orang-orang berjubah putih itu marah besar pada orang-orang berseragam coklat. Mereka lalu interogasi semua orang dalam sel. Memukuli mereka tanpa terkecuali. Satu orang berjubah putih itu bilang; ia akan bawa mereka ke Pulau Buru untuk merasakan penjara yang lebih kejam jika tak ada yang mau mengaku. Ah, untung lelaki itu telah pergi. Namun orang-orang berjubah putih itu tak menyadarinya. Beruntung sekali ia.
              Ah, baru ku tahu sekarang ternyata benda itu adalah bijih uranium yang di dalamnya terdapat sensor sinyal yang dapat dipicu oleh tombol merah pada benda yang disebut remot kontrol itu. Benda kecil yang memiliki daya ledak tinggi, namun ia tak meledak seperti bom, aku sendiri juga heran. Bijih uranium itu meledak, merapuhkan segala sesuatu yang dikenainya lalu memercikkan api terhadapnya sehingga membuat mereka terbakar. Tak kusangka ternyata ada ciptaan mereka yang lebih keren dibanding diriku.

4
              Hujan turun semakin deras. Namun lelaki itu tak lagi ada di sini sekarang.Malam semakin sunyi. Tak ada lagi rumah atau desa yang terbakar secara tiba-tiba lalu esoknya berubah jadi kebun jarak.
Hah, lelaki itu! Tiba-tiba ia datang. Entah dari mana. Langsung ia menghampiriku dan membawaku pergi. Untung tak ada orang berseragam coklat yang tahu. Kalau ada, habislah ia.
              Ia suruh aku membantunya menulis satu pengumuman bahwa esok malam, ia akan bakar kantor orang-orang berseragam coklat. Tempat ia dipenjarakan dahulu. Ia bilang ingin pasang pengumuman itu di koran. Ia punya teman yang bekerja di satu media masa di Hindia ini.
Ah, sebenarnya aku malas membantunya. Namun ia memaksa.

5
              Biasanya hujan turun semakin deras, namun sepertinya tidak untuk kali ini. Aku dapat merasakan kesedihannya. Kesedihan yang akan sejenak berhenti ketika hujan turun dan mencipta abu di atas tanah desa-desa itu.
              Ia selalu setia menunggu hujan. Menunggu kesedihannya berhenti sejenak. Namun ternyata ia tak sepemberani seperti yang pernah kubayangkan ketika menculikku dari markas orang-orang berseragam coklat itu.
              Amarah hanya ia pendam dalam dirinya. Dasar bodoh. Tak sedikit sudah aku mengingatkannya, mengumpatinya; Hei bodoh, jangan diam saja! Jangan biarkan orang-orang berjubah putih itu menjarah kebahagiaan yang seharusnya kau miliki. Kau harus berani. Lawan mereka. Jangan biarkan lagi mereka merampas hidup orang-orang yang kau sayangi. Ah kau hanya bisa mengarang cerita, tak lebih. Padahal pasti Tn. Jugend akan lebih bangga padamu jika kau mampu melawan sungguhan.
              Hah, percuma sudah kau menculikku kalau pada akhirnya kau urungkan niatmu untuk membakar tempat itu. Percayalah, teman-temanmu di sana pasti selamat, mereka dapat lari lewat gorong-gorong yang mereka bikin. Mereka sudah hafal jalannya. Ayo, tunggu apa lagi? Atau jika mereka terbakar, itu juga lebih baik. Daripada di sana mereka dipaksa bekerja sangat keras, disiksa. Kau telah kirimkan pengumuman itu pada temanmu. Pasti ia akan menaruhnya di halaman depan koran. Ayolah.
              Ah, lelaki itu. Ia masih tak bergeming. Tak dihiraukannya perkataanku. Dasar lemah. Ia telah kehilangan seluruh anggota keluarganya ketika desanya dibakar. Sedang ia tak dapat berbuat apa-apa karena ia dan para lelaki desanya telah lebih dulu ditangkap atas perintah orang-orang berjubah putih itu.

7
            Hujan turun semakin deras. Lelaki  itu meninggalkanku sendirian pada sebuah ruangan yang gelap. Ah, dasar tak tahu berterimakasih. Padahal aku ingin lihat betapa hebohnya orang-orang di luar sana membaca tulisanmu yang mengancam akan ledakkan markas orang-orang berseragam coklat itu. Betapa mereka akan kebingungan, takut. Lalu orang-orang berjubah putih akan sangat marah dan menyalahkan mereka.
            Lelaki itu pergi entah kemana. Untuk meledakkan markas itu mungkin. Ya, setidaknya itu dapat menyulut semangat lelaki-lelaki lainnya untuk berjuang melawan orang-orang berjubah putih yang menindas mereka.

8
            Hujan turun semakin deras. Pun lelaki itu tak kunjung kembali padaku. Tak pula kudengar ribut-ribut karena markas orang-orang berseragam coklat yang terbakar. Dimana lelaki itu? Apakah ia tewas?
            Seharusnya malam tadi ia telah ledakkan bijih uranium itu. Ah, dasar!
            Seseorang melemparkan sebuah koran dihadapanku. Yang benar saja. Halaman depannya menampakkan gambar bangunan yang terbakar hebat. Di atasnya tertulis; “Rumah Jendral Crist Van Ottoman Meledak”
            Bagaimana mungkin. Ku tahu ia adalah salah seorang jendral kepercayaan Ratu. Ku lanjutkan membaca berita itu. Benar. Jendral itu tewas beserta istrinya. Pasti ini ulah lelaki itu. Ya, aku yakin. Ia urungkan niat ledakkan markas orang-orang berseragam coklat karena tak ingin teman-temannya yang ada di sana ikut terbakar.

9
             Hujan turun semakin deras. Membasahi jalanan yang mulai menggelap. Sunyi. Sepi. Dingin. Di sepanjang jalan tempat lelaki itu berdiri, masih nampak tenda-tenda sederhana mengepulkan uap kopi. Di dalamnya sebuah lampu memendarkan cahaya oranye. Menerangi dan memberi sedikit hawa panas pada pisang goreng dingin yang belum tersentuh tangan pembeli. Sepertinya di sana hangat.
             Ah sudahlah. Ia tak akan dapat rasakan kehangatan itu. Namun aku dapat rasakan kehangatannya.
Aku akan menemaninya mengarang cerita. Ya. Karena memang aku adalah mesin ketik yang dibeli Tn. Jugend dari sebuah toko di Belanda sana setelah Tn. Jugend membaca cerita yang ditulis lelaki itu tentang penindasan orang-orang berjubah putih terhadap bangsanya. Tuan Jugend menjulukinya pahlawan Asia.
Walaupun ucapanku tak pernah dapat ia dengarkan, setidaknya aku cukup bangga dapat membantunya menulis pengumuman tentang ancaman peledakkan markas yang dimuat di koran dan membakar semangat lelaki-lelaki lainnya. Haha, sungguh besar kekuatan kata-kata yang dituliskan lelaki itu, pun sekadar pada ultimatum singkat. Walaupun kudengar media masa yang memuatnya itu ditutup sekarang.
             Lelaki itu masih berdiri. Sendirian. Menunggu hujan. Bukan menunggu kedatangannya, melainkan menunggu kepulangannya. Tidak untuk memadamkan desa-desa yang terbakar, namun sekadar berteduh. Mengenang wajah cantik istrinya yang baru saja ia nikahi. Mengenang desanya yang dulu indah dan sejahtera.
             Biarkanlah hujan turun kali ini. Membasahi jalanan yang kini lengang. Aku pun juga akan menunggunya. Karena aku akan rusak dan tak berguna jika melawannya.
Lelaki itu menatapku, mengelapku dengan sapu tangannya yang lembab. Mungkinkah ia dapat mengerti perkataanku?


 ......

Cerita ini aku tulis, em kalau tidak salah dua tahun yang lalu, sekedar untuk mengingat tentang perjalanan hidup yang menemui beragam halangan sepatutnya diperjuangkan dari beragam sisi pula. Terimakasih. Semoga kita selalu sempat merasakan bahagia pada waktunya.

0 comments:

Post a Comment