I am freelance intelligence. Currently trying to understand capitalism.

Thursday, 8 May 2014

Is Value Investing Become A Relic Today?

Ketika berbicara mengenai value investing, biasanya yang muncul di pikiran sebagian besar orang ialah sosok Om Warren E. Buffet, seorang bintang investasi yang menggunakan strategi value investing. Value investing sendiri, sebenarnya merupakan strategi berinvestasi yang dikemukakan oleh Benjamin Graham dan David Dodd dalam buku mereka Security Analysis yang ditulis pada 1933 dan disempurnakan lagi dan terbit edisi ke-duanya tahun 1940.

Pada kata sambutannya di edisi ke-enam buku -Security Analysis- tersebut, Om Buffet mengatakan bahwa beliau memiliki tiga buku yang paling berharga dalam hidupnya, yang salah satu ialah Security Analysis ini.

Value Investing kemudian diambil intisarinya oleh sebagian besar orang sebagai strategi membeli saham yang undervalued atau dihargai murah oleh pasar, yang mana sebenarnya nilai intrinsik saham tersebut masih sangat menjanjikan. Intinya, membeli saham di harga yang aman, kalau turun ya nggak bakalan turun banyak, tapi kemungkinan naiknya bisa banyak. Saya sendiri baru membaca Security Analysis satu kali dan saya rasa masih perlu membaca ulang setelah ujian akhir semester nanti. Walau pun fokus pembahasannya adalah value investing, Security Analysis sendiri sebenarnya cukup memaparkan mengenai investasi mulai dari hulu hingga ke hilirnya. Yang artinya apa, cukup banyak data atau informasi yang diperlukan untuk meninjau atau menentukan harga wajar suatu saham. Karena biasanya intrepretasi harga wajar itu pun berbeda dari satu analis ke analis lainnya. Maka dari itulah sepertinya, mengapa Om Buffet lebih memilih saham-saham yang sudah listing di bursa setidaknya selama sepuluh tahun, karena ada cukup data di sana.

Ada beberapa metode dalam menghitung harga saham, melalui dividen, free cash flow, dan beberapa lainnya. Namun kemudian yang menjadi pertanyaan ialah, mengapa saham tersebut undervalued? Karena tidak ada investor atau analis yang dapat melihat kebagusannya, karena kinerja atau prospeknya dirasa buruk, atau karena pasar memang sedang koreksi?  Nah dalam value investing, biasanya investor memilih emiten yang performanya tetap bagus dan meningkat, namun harganya turun. Kan aneh kan ya sebenarnya? Orang kinerjanya nggak turun kok harganya turun, tapi ya begitulah, sepertinya memang banyak orang aneh di Wall Street.

Value investing sendiri sepertinya tidak begitu banyak diminati di Indonesia, yap, kebanyakan investor Indonesia adalah trader, karena menggunakan strategi trading, dirasa lebih rendah risiko dan keuntungannya bisa lebih besar. Dan sepertinya tidak terlalu harus berpusing-pusing ria seperti Om Buffet yang harus bergelut dengan laporan keuangan, company plan, dan model-model perhitungan, para trader hanya cukup menguasai analisa teknikal dan beberapa dasar analisa fundamental.

Karena selain risiko value investing cukup tinggi jika kita salah perhitungan, misal nih, kita beli Astra Internasional tahun 1998 dulu, yang harganya gocap (biar enak nyebutnya aja), dan kita belum tahu apakah kelak perusahaan ini bisa survive atau tidak, kan cukup riskan. Bandingkan dengan kita beli sahamnya Astra tahun 2014 ini yang mana harganya sudah lumayan dan perusahaannya juga sudah konstan memperoleh profit, risikonya kan lebih rendah. Well, sebenernya orang-orang berpendapat value investing ini justru sangat rendah risikonya karena membeli saham di bawah harga wajarnya. Tapi, alasan terjadinya harga tersebutlah yang menurut saya menjadi risikonya. Siapa coba yang tahu kalau ASII bisa survive dulu?? Tapi sekarang kalau ditanya, siapa yang bisa bilang ASII akan masih berkembang dalam 10 tahun ini?? Banyak yang bisa jawab dan ngasih justifikasi kan??

Maka dari itulah value investing menuntut analisa yang komprehensif, kayaknya juga melibatkan intuisi ya kalo nggak salah biasanya, tanya deh Pak Teguh Hidayat atau Opa LKH.

Nah, jika ceritanya seperti itu, berarti kan lebih baik kalau kita membeli saham yang sudah break out - menembus titik resistennya, atau titik jenuh jualnya-, untung 3% - 7%, atau ketika indikator teknikal udah mulai ngasih warning kita lepas sahamnya, terus nyari lagi yang break out, begitu seterusnya. Jadi ya buat apa capek-capek belajar value investing kan gitu?

Satu kalimat yang ingin saya ucapkan sekarang adalah, semua hal itu diawali dengan niat. Dan dalam berinvestasi, setiap orang tidak selalu memiliki tujuan yang sama. Dan satu hal yang membuat orang sukses adalah karena ia memiliki visi. Om Buffet jelas punya visi yang matang dan mantap ketika membeli Berkshir Hathaway dulu. Dan kenapa kebanyakan investor yang sukses besar adalah value investor karena seorang value investor selalu memiliki visi yang matang dan mantap ketika berinvestasi, namun bukan berarti trader tidak. Tapi secara logika pun kita bisa menyadari, ketika seseorang memutuskan untuk menggunakan strategi value investing dan ia tidak memiliki visi, ia biasanya mulai ragu-ragu dan memutuskan untuk tidak disiplin dengan rencananya. Tapi, untuk menjadi trader, menggunakan rekomendasi para analis, membuat perencanaan berdasarkan rekomendasi tersebut, cut loss kalau tembus harga sekian, take profit kalau tembus harga sekian, pun sudah lumayan cukup untuk mendapat profit. Jadi itulah mengapa trading populer sekarang.

Nah, lalu benarkah kemudian value investing senasib ama Black Berry? Em itu pertanyaan yang cukup berat sebenarnya, tapi jawaban saya adalah tidak. Karena ia merupakan suatu disiplin ilmu, dan disiplin ilmu seharusnya tidak peduli dengan jumlah pemakainya. Jadi begini, seperti yang dibilang Om Buffet; dalam jangka pendek, pasar saham itu kayak kontes kecantikan (baca: kontes popularitas), tapi di jangka panjang, baru lah itu benar-benar kontes kualitas. Saya sendiri masih belum begitu menemukan pemahaman yang cukup mantap mengenai Value Investing, jika ada temen-temen yang ingin ngobrol-ngobrol mengenai itu, silakan email di muwafah@yahoo.co.id ..

 





 

0 comments:

Post a Comment