I am freelance intelligence. Currently trying to understand capitalism.

Monday, 8 June 2015

Indikasi Waspada untuk Status Bursa Saham Emerging Market

Hari ini IHSG ditutup pada 5.014,99, yang bisa dikatakan hampir menembus titik psikologisnya di level 5.000,00. Nilai tukar rupiah juga sudah sempat menembus ke level 13.300,00, jauh lebih cepat dari perhitungan saya yang kemungkinan level tersebut baru akan tersentuh pada sekitar akhir bulan agustus, dan dulu saya berfikir bahwa 13.300,00 sudah merupakan level yang paling rendah, namun sekarang saya berubah pikiran.

Ada setidaknya tiga pertimbangan utama yang menurut saya signifikan untuk dilihat dalam menyikapi situasi yang seperti ini guna menentukan langkah kedepan.

Pertama, kemungkinan kebijakan perekonomian Amerika. Setelah teppering off, dan kondisi indikator makroekonomi di AS mulai membaik, Federal Reserve akan mulai menaikkan Fed Rate guna menarik kembali USD yang telah cukup lama beraktivitas di negara-negara lain, khususnya negara-negara emerging market. Namun, Federal Reserve sepertinya masih membutuhkan waktu mengingat kesiapan bank-bank di AS yang masih belum cukup baik jika kebijakan itu dilaksanakan sekarang. Bank-bank akan membutuhkan modal dasar atau kapasitas yang lebih tinggi jika Fed Rate dinaikkan dan itu akan cukup membebani.
Dinaikkannya Fed Rate dan keluarnya investasi asing dari bursa saham Indonesia tentu akan memberikan tekanan yang cukup berat mengingat dana asing masih memiliki proporsi yang besar dalam komposisi dana yang ada di pasar saham Indonesia.  

Kedua, kondisi perekonomian di dalam negeri sendiri. Dalam hal ini saya akan secara khusus membahas Indonesia. Ada beberapa variabel yang menurut saya penting untuk dipertimbangkan, diantaranya:

- Neraca perdagangan
Rupiah sudah melemah cukup tajam sejak 2013, dan seharusnya ekspor kita mendapat rangsangan positif dari keadaan tersebut. Kita dapat berproduksi dan mengeluarkan biaya produksi dalam bentuk rupiah (yang sedang lemah) dan kemudian menjualnya dan mendapatkan pendapatan dalam level nilai USD (yang sedang menguat). Tentu keuntungan yang didapat akan jauh lebih besar, dan keadaan seperti ini seharusnya dapat memacu pertumbuhan ekspor. Namun yang terjadi, neraca perdagangan kita masih sering negatif. Sehingga kita bisa katakan ada sebuah kejanggalan. Pertanyaannya sekarang, apa penyebab kejanggalan tersebut? Jumlah pengusaha/produktivitas yang masih sangat rendah dan tidak mengalami pertumbuhan, atau expor sebenarnya tumbuh namun, permintaan untuk import kita juga tumbuh lebih banyak lagi, atau produk yang kita produksi kurang kompetitif sehingga tidak dapat diekspor, atau apa? Yang jelas, jika dibiarkan terus menerus, hal ini dapat memberikan korelasi negatif terhadap GDP atau pertumbuhan ekonomi, yang bisa menurunkan rating investasi di Indonesia dan berujung pada pelemahan pasar sahamnya.

- Realisasi perencanaan pembangunan
Masih cukup banyak persentase dari anggaran belanja negara yang belum terealisasi. khususnya dalam hal pembangunan infrastruktur. Mungkin Presiden Jokowi berfikir pembangunan infrastruktur sangat diperlukan guna menarik investasi asing yang akan mulai hengkang ke AS atau Eropa ketika Federal Reserve menaikkan suku bungannya. Namun faktanya pada saat ini, realisasi dari pembangunan infrastruktur besar-besaran tersebut masih sangat minim, emiten konstruksi di JCI saja masih membukukan kinerja yang tidak cemerlang. Jika pembangunan ini gagal, maka masalahnya bukan hanya pada tidak terpenuhinya kebutuhan infrastruktur kita, namun juga menurunnya tingkat kepercayaan investor terhadap pemerintah.

- Kinerja emiten
Yang diharapkan oleh investor ialah, kinerja emiten, khususnya dalam hal pertumbuhan aset dan profitabilitas, selalu meningkat signifikan setiap tahunnya. Dan ketika yang terjadi adalah sebaliknya, atau ketika harga saham sudah berada pada PER yang cukup tinggi dan pertumbuhan kinerja sangat sedikit atau bahkan negatif, pasar pasti akan merespon dengan cepat. Atau kita bisa katakan bahwa market di Indonesia itu mendekati efisien. Contohnya ketika rilis data hasil kinerja beberapa emiten indikator pada Q1 2015 tidak sesuai ekspektasi, pasar langsung merespon dengan turunnya IHSG. Jika tekanan dari melemahnya rupiah, meningkatnya pajak (sepertinya mulai bermunculan beraneka macam jenis pajak akhir-akhir ini), menurunnya impor oleh China, dan tantangan-tantangan lain kedepannya membuat kinerja emiten melemah, bukan tidak mungkin IHSG akan terkoreksi cukup tajam.

Ketiga, kondisi perekonomian di China. Bursa saham China mengalami kenaikan yang sudah cukup tajam. Bahkan majalah the economist bulan ini memberikan fokus ulasannya pada indikasi terjadinya buble pada pasar saham China. Faktanya saat ini, ditengah kenaikan bursa sahamnya yang cukup tajam, kondisi perekonomian China sedang menghadapi tekanan lebih banyak jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang mana mereka selalu berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 8%. Sebuah pencapaian yang mungkin akan sangat sulit untuk dicapai mulai tahun ini dan seterusnya. Apabila yang terjadi adalah, bursa saham China mengalami buble dan kondisi perekonomian China tertekan, sehingga pertumbuhannya menurun hingga mendekati 5%, kemungkinan koreksi yang cukup tajam atau bahkan terjadinya market crash bisa sangat besar. Jika bursa saham China mengalami crash, maka pengaruhnya akan sangat terasa di bursa saham Indonesia.

Tiga pertimbangan di atas menjadi faktor yang patut dipertimbangkan oleh para investor dalam jangka menengah (1-5 tahun kedepan). Namun jika keadaan berangsur-angsur membaik, kinerja emiten tumbuh sesuai ekspektasi yang didukung oleh pelemahan harga minyak, dan pembangunan di dalam negeri terealisasi dengan sangat baik, serta kekhawatiran atas sentimen-sentimen negatif dari luar negeri dapat diantisipasi dengan baik, bukan tidak mungkin bursa saham indonesia akan melanjutkan rally walaupun jika dilihat secara tehnikal IHSG sekarang mulai berada dalam fase bearish jangka menengah. Namun, kesimpulan saya untuk sementara ini adalah, menetapkan status waspada tingkat awal untuk bursa saham di negara-negara emerging market khususnya Indonesia. Mungkin sekitar akhir tahun 2016, keadaannya akan terlihat lebih jelas, apakah kita akan menghadapi koreksi ringan seperti 2008 lalu, melanjutkan rally, atau menghadapi krisis yang lebih besar, atau bisa jadi mengalami konsolidasi sebelum tumbuh pesat di sekitar tahun 2025, mengingat bonus demografi. 

0 comments:

Post a Comment