Saya tidak begitu membayangkan, ketika kecil, tentang hal-hal mengenai puisi.
Saya tidak begitu suka membaca puisi, ketika kecil, karena saya pikir itu alay, berlebihan, dan bukannya nge-feel malah bikin ill-feel.
Namun pernah satu kali saya terpaksa melakukannya untuk sebuah kompetisi akademis, kabar baiknya, saya hanya melakukannya ketika latihan karena ternyata di kompetisi tersebut tidak wajib untuk dilakukan dan ada pilihan bentuk seni lainnya.
Ya, itu dulu ketika saya SD.
Ketika SMP saya tidak sengaja membaca sebuah buku kumpulan puisi di perpustakaan. Saya hanya penasaran karena bukunya terlihat aneh lalu saya baca dan ternyata itu kumpulan puisi. Dan bingo. I felt something while reading them. Sesuatu seperti, anda merasa berada di sebuah suasana yang anda ciptakan sendiri, anda nikmati dan anda akhiri sendiri. Apakah ceritanya berlanjut? apakah kemudian dari situ saya mulai menulis puisi? no! Faktanya adalah saya tidak ingat apakah saya pernah benar-benar menulis puisi ketika SMP dan tidak ada puisi SMP saya yang hidup di pikiran saya sekarang kecuali satu, sebuah puisi tentang sungai yang menjadi akar kehidupan masyarakan di sebuah tempat yang cukup jauh dari rumah saya namun masih di kota yang sama. Ketika itu saya mengendarai sepeda dan tanpa ada rencana, hanya menggerakkan pedal dan kemudi sesuka hati, sampai akhirnya tiba di tempat itu. Jika dihitung jaraknya dari rumah sekitar 21 kilometer.
Ketika SMA? Inilah waktu ketika saya mulai berani meninggalkan kelas untuk sesuatu yang memang benar-benar saya ingin untuk lakukan. Sebuah waktu transformasi yang sangat menakjubkan yang bahkan saya tidak percaya saya dapat berpikir seperti itu ketika SMA. Begitu banyak pergulatan, refleksi, dan keberanian yang terjadi. Begitu banyak puisi yang saya tulis. Namun hanya beberapa yang masih hidup di dalam kepala saya sekarang. Sisanya? sebagian besar saya tinggalkan di lembar-lembar soal ujian semester, dan sebagian lagi saya bakar ketika saya merasa, waktunya sudah habis untuk ini. Saya biarkan pikiran saya melepas mereka. Meninggalkannya sendirian dengan nasib mereka sendiri. Dan hanya membawa beberapa puisi yang saya pikir akan saya perlukan untuk menjalani kehidupan selanjutnya.
Sudah sekitar satu tahun saya tidak menulis puisi yang hidup. Beberapa puisi yang saya tulis hanya sebuah latihan merangkai kata-kata dan nada, saya tidak merasa ada yang hidup di sana. Ya, selama satu tahun ini. Bukan karena saya tidak berfikir dan merasa semua hal berjalan dengan baik di dunia ini. Namun karena puisi-puisi SMA saya yang masih hidup, mereka seperti perlahan-lahan berubah, seperti ada editor yang secara otomatis merawat mereka, dan saya menikmatinya. And i don't think to write a poetry anymore. Mungkin sampai saat dimana saya merasa, waktunya sudah habis untuk ini.
0 comments:
Post a Comment